O Penjaga Ladang Jiwa
;Ramayani Riance
“berladanglah di hatiku pada kejauhan, agar kau tau suburnya ingatanmu”
seperti biasa puti, di batas ladang menjelang siang engkau datang
membawa sebungkus kenangan pada pematang hari berlumur peluh
ya, di huma itu hujan lum juga pernah cucur ke sebidang dada kita
rerumput dan jerami berselampit menjalin tikar savana
tempat kita mendirikan dangau harapan
krinok, namaku
lelaki lumpuh dari ranah bebunga tebu tempat kekaki pelangi
menjejak cerita pawana
O puti, kau tetap tegarkan dadaku dengan senandung langu
tak pernah berkesudahan itu di buku-buku ruas nasib
merunjang angan, walau aku bagai pimping di tebing genting
sebagai peladang cinta walau rengkah tetap menugal tanah kesetiaan
setangkai cangkul lelah patah menetak bebayang, aih
“begitu luas dan tenang, biarkan kita hanyut dalam kekuasaan angin”
O sebagai penjaga nan terus terjaga
masih saja setia kau alunkan awan di kepala dan binar mata
sekuntum senyum merekah walau segera diserabut belukar dan bunga
lalang. ah puti, sebungkus kenangan yang jadi sangu darimu itu
masih saja kusimpan dengan sabalut setia dalam sapu tangan warna jingga
wahai, di dalamnya seunggun gairah segulung debar terpatri jadi kekisah
walau senja berkali beralih menghamparkan udara nan hambar
hampa menghimpun lengang
ya, di bibir hutan nan balu kita berhadap-hadapan; tunggul waktu
amat sendu
leladang belahan jiwa menghampar kosong
ketika musim tuai tak lagi singgah ke anai-anaimu
sunyi seirama gemeratab dada yang tak lagi bernada. O di bebukit
sakit berakit-rakit diayun serau mantra purba dari gua-gua silam
musim berburu rusa merapuh tersangai di ujung mata terok
lembah hilang rona, ketika tak lagi tersisa peladang menyepuh jiwa
dan orang-orang tak ubah gerombolan yang meronta dalam jerat
“berlututlah, di keluasan padang jinakkan pandang sebatas cakrawala”
O kata-kata merubung jelma kota-kota, serunai gembala pecah di langit
kita lantas terlunta sebagai petani mengelandang perih
kiyu dan langu membentur batu pagu-pagu waktu
tengoklah, bebingkai kisah asmara anggrek bulan berai menahan juntai
gairah pawana
dan di kejauhan padang itu, ada perempuan bersayap kabut
tegun menunggu pada sebingkai pintu, tengadah jengah menikam angkasa
O tatapnya mengasah cahaya dengan geletar cita-cita. puti!
ia mengundang kita jadi halilintar, berlaku tegar sebagai pejaga kesuburan
sampai garis batas akhirnya pias tersapu usia hujan
“! berladanglah di hatiku pada kejauhan, agar kau tetap tau suburnya
ingatanmu, tetaplah sebagai garda walau udara tawar”
lirih bisik itu masih seperti biasa; rahasianya
Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah; 11/11
;Ramayani Riance
“berladanglah di hatiku pada kejauhan, agar kau tau suburnya ingatanmu”
seperti biasa puti, di batas ladang menjelang siang engkau datang
membawa sebungkus kenangan pada pematang hari berlumur peluh
ya, di huma itu hujan lum juga pernah cucur ke sebidang dada kita
rerumput dan jerami berselampit menjalin tikar savana
tempat kita mendirikan dangau harapan
krinok, namaku
lelaki lumpuh dari ranah bebunga tebu tempat kekaki pelangi
menjejak cerita pawana
O puti, kau tetap tegarkan dadaku dengan senandung langu
tak pernah berkesudahan itu di buku-buku ruas nasib
merunjang angan, walau aku bagai pimping di tebing genting
sebagai peladang cinta walau rengkah tetap menugal tanah kesetiaan
setangkai cangkul lelah patah menetak bebayang, aih
“begitu luas dan tenang, biarkan kita hanyut dalam kekuasaan angin”
O sebagai penjaga nan terus terjaga
masih saja setia kau alunkan awan di kepala dan binar mata
sekuntum senyum merekah walau segera diserabut belukar dan bunga
lalang. ah puti, sebungkus kenangan yang jadi sangu darimu itu
masih saja kusimpan dengan sabalut setia dalam sapu tangan warna jingga
wahai, di dalamnya seunggun gairah segulung debar terpatri jadi kekisah
walau senja berkali beralih menghamparkan udara nan hambar
hampa menghimpun lengang
ya, di bibir hutan nan balu kita berhadap-hadapan; tunggul waktu
amat sendu
leladang belahan jiwa menghampar kosong
ketika musim tuai tak lagi singgah ke anai-anaimu
sunyi seirama gemeratab dada yang tak lagi bernada. O di bebukit
sakit berakit-rakit diayun serau mantra purba dari gua-gua silam
musim berburu rusa merapuh tersangai di ujung mata terok
lembah hilang rona, ketika tak lagi tersisa peladang menyepuh jiwa
dan orang-orang tak ubah gerombolan yang meronta dalam jerat
“berlututlah, di keluasan padang jinakkan pandang sebatas cakrawala”
O kata-kata merubung jelma kota-kota, serunai gembala pecah di langit
kita lantas terlunta sebagai petani mengelandang perih
kiyu dan langu membentur batu pagu-pagu waktu
tengoklah, bebingkai kisah asmara anggrek bulan berai menahan juntai
gairah pawana
dan di kejauhan padang itu, ada perempuan bersayap kabut
tegun menunggu pada sebingkai pintu, tengadah jengah menikam angkasa
O tatapnya mengasah cahaya dengan geletar cita-cita. puti!
ia mengundang kita jadi halilintar, berlaku tegar sebagai pejaga kesuburan
sampai garis batas akhirnya pias tersapu usia hujan
“! berladanglah di hatiku pada kejauhan, agar kau tetap tau suburnya
ingatanmu, tetaplah sebagai garda walau udara tawar”
lirih bisik itu masih seperti biasa; rahasianya
Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah; 11/11